Rabu, 23 Maret 2011

EQUIBLIRIUM BROMO



Sigit Pramono membawakan presentasi foto-foto Equilibrium Bromo di pertemuan Lembaga Fotografi Candra Naya, Kyoei Prince Jakarta pada 23 Maret 2010. Pada saat itu pula dilakukan penjualan buku-buku foto karya beliau yang ternyata cukup diminati para peserta seminar, sekalian meminta autograph dari beliau .

23 Maret 2011: SIGIT PRAMONO "Equilibrium Bromo"


Siapa tidak mengenal BROMO, yang menurut Lonely Planet adalah gunung tercantik nomor 3 di dunia (Mount Fuji adalah nomor4) . Dan menurut SIGIT PRAMONO, Bromo selalu cantik, bahkan saat terjadi erupsi sejak November 2010 sampai sekarang (Maret 2011), yang entah sampai kapan akan berakhir.
Sigit yang dikenal sebagai banker papan atas, dan sekarang menjabat Direktur Perbanas , memerlukan hobi fotografi untuk mengimbangi profesinya yang sangat memiliki tanggung jawab risiko sangat tinggi.
Sebagai fotografer otodidak yang menyukai LANDSCAPE, ia dikenal sebagai fotografer Indonesia yang paling banyak menghasilkan buku karya fotografi , sampai saat ini sudah 5 buku yang dihasilkan yaitu VIEW POINTS (2005) , BISIKAN ALAM(2006), MAJESTIC, MYSTICAL MOUNTAIN (2007), BELANGA : PARADISE IN AN EARTHEN POT (2009) dan BROMO, A PERPETUAL REMINDER (2010).
Dengan terjadinya erupsi Merapi pada tanggal 25 Oktober 2010, semua jurnalis tumplek semua ke Merapi yang bencananya banyak menimbulkan korban harta dan jiwa. Seminggu kemudian, Bromo juga erupsi, dan tidak banyak jurnalis yang berminat meliput. Lain halnya dengan Sigit Pramono yang langsung datang ke Bromo dan mengabadikan moment-moment dimana keindahan panorama Bromo, berbaur dengan gemuruh letusan , semburan awan dan hujan pasir. Bahkan hujan batu se kepalan tangan bilamana kita berada di dekat lokasi kawah. Hampir setiap weekend, beliau datang ke Bromo dan meliput sejak November 2010 sampai saat ini.
Letusan Bromo tidak mengambil korban jiwa, namun banyak menimbulkan kerugian materi. Masyarakat Tengger pun tidak ada yang geger, semua pasrah dan menganggap ini adalah siklus alam, dimana setelah letusan, akan didapatkan kesuburan. Menurut Sigit,rangkaian letusan Bromo kali ini benar-benar akan merubah “wajah panorama” Bromo, sehingga bagi fotografer yang sebelumnya sudah memiliki foto Bromo, harus menyimpannya dengan baik. Bromo will never be the same.
Yang unik, letusan demi letusan Bromo dapat dinikmati sebagai pertunjukkan, udara tetap terasa sejuk, Nampak dalam foto-foto karya beliau dimana penduduk masih menggunakan jaket dingin, dan menggunakan payung. Payung digunakan bukan untuk hujan air, namun untuk melindungi dari hujan pasir. Masker harus digunakan. Karena frekuensi letusan yang sering, Sigit dapat merekam bencana melalui jiwanya yang terbiasa merekam keindahan, maka lahirlah foto-foto erupsi Bromo yang memiliki nilai jurnalistik tinggi, namun tetap menampilkan unsur artistik.
Foto-foto “Equilibrium Bromo “ ini, sudah dipamerkan di Hotel Four Seasons Jakarta dan kemudian di Galeri Foto Jurnalistik Antara ; menurut rencana juga segera akan di pamerkan di Singapura. Foto-foto yang terjual di Pameran, hasilnya 100% disumbangkan pada masyarakat Tengger yang memerlukan bantuan. Sebelumnya, Sigit juga terlibat dalam penggalangan dana bagi masyarakat pasca letusan di Merapi.
Mengamati koleksi foto Equilibrium Bromo ini, kita bisa melihat bahwa Bromo memang tetap cantik, atau memang karena fotografernya yang artistik, bayangkan erupsi hebat di ambil saat semburat sinar matahari terbit yang ke merahan bergabung dengan warna pekatnya semburan abu, pasir dan batu. Dramatis, namun tetap indah.
Sukses bagi Bapak Sigit Pramono yang berbagi ke piawaian beliau terutama tips-tips bagi para fotografer lainnya. Presentasi di LFCN ini dihadiri lebih dari 70 fotografer dengan banyak pertanyaan dan diskusi yang hidup dan berbobot, dari menanyakan perbedaan film dengan digital, cara menyimpan file film/ digital, tips trick motret landscape, kenapa memilih kamera panoramic yang setiap roll hanya memberikan 4 bingkai, memilih kamera + peralatan minimal untuk landscape, dsb.
Terakhir , Sigit mengundang para fotografer untuk menikmati Bromo yang masih erupsi, atau ke galeri yang paling tingggi di Indonesia, yaitu di hotel Java Banana miliknya (kawasan Bromo), dan jangan lupa, sebagai penggemar music Jazz, Sigit juga mengundang pada acara JAZZ GUNUNG ketiga di Bromo pada 9 Juli 2011. Kamar hotel di Java Banana sudah penuh, namun masih banyak penginapan lain di sekitarnya.
Karya foto Sigit Pramono, bisa di akses di www.sigitpramono.com . Sedangkan buku-buku foto karya beliau bisa di nikmati dan dibeli di “Alun-alun” Grand Indonesia Shopping Mall.